Jumat, 07 Agustus 2015

Sabtu Bersama Bapak

Sabtu Bersama Bapak. Buku ini highly recommended oleh beberapa teman penulis/blogger. Menyimak judulnya, kita pasti akan langsung menebak bahwa buku ini ber-genre keluarga. Menyimak lembar demi lembar, kita serasa dibawa pada kisah belasan tahun silam, pada sebuah ruang keluarga yang nyaman.

Adhitya Mulya menuturkan kisah keluarga Gunawan Garnida di mana sang Bapak memberikan pesan-pesan keteladanan bagi kedua putranya, Satya dan Cakra. Niat sang ayah diwujudkan dengan merekam kaset demi kaset video, saat mengetahui bahwa ia tidak memiliki waktu banyak untuk membersamai perkembangan dua juniornya. Sementara Bu Itje, sang istri pun dengan setia menemani sang suami melalui masa-masa sulitnya.
Dan kini, setiap Sabtu Sore, dua jagoan ini tidak ke mana-mana. Setiap Sabtu Sore, mereka dengan ditemani sang ibu duduk dengan manis di depan layar video untuk mendengarkan sang Bapak berbicara kepada mereka. Meskipun Sang Bapak secara fisik telah tiada. Dari hati ke hati. Sebagai seorang Ayah kepada anaknya. Anak yang sedang bertumbuh dan kelak akan menjadi dewasa; Satya dan Cakra.
"Satya, Cakra, dengar ya."
Bapak sedih hari ini.
Bapak sedih denger Satya gak mau sekolah kalo gak dibeliin sepatu seperti teman Satya."
Sang Bapak terdiam sebentar, mencari kata yang tepat.
"Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai.
Tidak datang dari barang yang kita punya.
Di keluarga kita, nilai kita tidak datang dari barang.
...
"Harga diri kamu datang dari dalam hati kamu dan berdampak ke orang luar.
Bukan dari barang/orang luar, berdampak ke dalam hati."
"..."
Sang Bapak membelai kedua anaknya.
"Pada waktunya, kalian akan mengerti.

Novel ini memadukan berbagai unsur drama yang padu. Pesan-pesan yang disampaikan sang Ayah tidak pernah terkesan menggurui. Kisah Satya yang membina rumah tangga jauh dari ibunda dan Cakra yang tak kunjung menemukan pendamping hidup menjadi bumbu tersendiri dalam Sabtu Bersama Bapak. Dialog-dialognya pun disajikan dengan begitu mengalir. Karakter tokoh-tokoh yang terlibat dalam novel ini tampil begitu utuh melalui dialog-dialog yang dibangun. Sesekali diselipi humor menggelitik yang buat kita tersenyum bahkan tergelak saat membacanya. Kita diajak berefleksi sejenak mengenai peran ayah dan juga anggota keluarga lainnya dalam berbagi keteladanan di rumah tangga.
" ..."
"Boys.
Di keluarga ini kita membela yang benar."
"..."
"Kenapa?" tanya Satya.
"Karena Tuhan pun melihat manusia dari yang benar dan yang salah. Dan yang benar itu yang baik. Bukan darimana ia berasal."
"..."
"Siapa yang kita bela?"
Satya dan Cakra menjawab, "Yang benar."
Dalam novel yang sejauh ini merupakan karya paling berkesan bagi sang penulisnya, Adhitya Mulya, peran seorang Ayah dilukiskan sebagai pembentuk kematangan kepribadian seorang anak. Bagaimana sang anak menghadapi masalahnya dan bertumbuh, bagaimana keluarga menjadi tempat bercerita paling aman dan tempat pulang yang nyaman, bagaimana ia sebagai kepala keluarga harus mengantisipasi masa depan keluarganya tanpa harus menjadi beban bagi orang lain.

Nilai ceritanya pun begitu berkesan. Dalam cerita, alur maju-mundur dikemas dengan begitu apik. Begitu pula dengan penekanan konflik dan penyisipan humor ataupun pesan-pesan moril yang dikomposisikan dengan harmonis oleh sang penulis. Bagi saya sendiri, ini adalah karya pertama Adhitya Mulya yang saya baca dan rasanya tidak heran bahwa buku ini begitu dicari dan layak menjadi sebuah referensi untuk belajar membina rumah tangga. Ups, keceplosan deh, hehe!

Seperti halnya Ferhat, novelis Teller Sampai Teler yang sering merekomendasikan buku ini untuk dibaca, begitu pula saran saya kepada Anda. Sajian Sabtu Bersama Bapak cocok untuk dibaca menemani perkembangan keluarga ataupun bagi yang ingin belajar membina rumah tangga, di tengah era gadget freak yang menyekat komunikasi harmonis di meja makan. Yang mungkin kian dirindukan dewasa ini.


Banda Aceh, 11 Juli 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar