Jumat, 07 Agustus 2015

Sabtu Bersama Bapak

Sabtu Bersama Bapak. Buku ini highly recommended oleh beberapa teman penulis/blogger. Menyimak judulnya, kita pasti akan langsung menebak bahwa buku ini ber-genre keluarga. Menyimak lembar demi lembar, kita serasa dibawa pada kisah belasan tahun silam, pada sebuah ruang keluarga yang nyaman.

Adhitya Mulya menuturkan kisah keluarga Gunawan Garnida di mana sang Bapak memberikan pesan-pesan keteladanan bagi kedua putranya, Satya dan Cakra. Niat sang ayah diwujudkan dengan merekam kaset demi kaset video, saat mengetahui bahwa ia tidak memiliki waktu banyak untuk membersamai perkembangan dua juniornya. Sementara Bu Itje, sang istri pun dengan setia menemani sang suami melalui masa-masa sulitnya.
Dan kini, setiap Sabtu Sore, dua jagoan ini tidak ke mana-mana. Setiap Sabtu Sore, mereka dengan ditemani sang ibu duduk dengan manis di depan layar video untuk mendengarkan sang Bapak berbicara kepada mereka. Meskipun Sang Bapak secara fisik telah tiada. Dari hati ke hati. Sebagai seorang Ayah kepada anaknya. Anak yang sedang bertumbuh dan kelak akan menjadi dewasa; Satya dan Cakra.

Jumat, 12 Juni 2015

Hanya 2 Menit

Melihat buku ini disajikan di rak depan sebuah toko buku, saya kembali teringat saat mengikuti seminar Ippho Santosa pada 17 Oktober 2010 silam. Hari yang sama ketika saya dibelikan sebuah sepeda oleh orang tua saya. Sungguh, di usia seperti saat itu yang baru saja diwisuda di sebuah universitas, masih bergantung kepada pemberian orang tua bukanlah harapan saya. Pelatihan itu bertema 7 Keajaiban Rezeki memotivasi saya untuk terus mengembangkan diri, sehingga tidak butuh waktu lama untuk mengambil keputusan menjadikannya koleksi perpustakaan pribadi saya.

Kebahagiaan sejatinya hanya memerlukan sebuah hati yang jernih yang dapat diisi oleh kebahagiaan itu sendiri. Seorang filosof Leo Tolstoy menyebutkan bahwa kita sejatinya adalah makhluk spiritual yang harus beradaptasi dengan hal-hal keduniawian. Kebutuhan-kebutuhan kita akan pemenuhan aspek duniawi seperti kecukupan materi, kesehatan fisik dan kemudahan mobilitas adalah contoh nyata yang membuktikan hal tersebut. Namun seringkali pola pikir yang keliru menghalangi kita untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Saya ingat salah satu pesan seorang motivator ulung Tung Desem Waringin yang menyebutkan salah satu langkah awal dan penting dalam belajar adalah bagaimana memperbaiki pola pikir yang salah. Dalam buku ini, seperti halnya status-statusnya di media sosial Facebook dan Twitter, Ippho senantiasa melabrak pola pikir yang selama ini kaku yang sebenarnya tidak pernah dipergunakan oleh sosok-sosok teladan umat Islam. Pola pikir yang cenderung mengekang umat untuk terus terpuruk dalam ketidakberdayaan alih-alih bangkit meraih masa depan yang gemilang.

Senin, 23 Juni 2014

Tanah Perempuan

Nyoe keuh cerita nanggroe nyang cidah
meugah man saboh donya
teumpat lahe para pahlawan utama
nyang gigeh usee penjajah

Bak trok masa nanggroe cidah

dicabik senjata syedara
darah roe menghamboe
nyawong pih gadoh

Uroe pih jijak watee pih meuganto

bah mantong keneuk khem
Ie laot teuka jisampoh mandum
Abeh mandum nyang tinggai keunangan

:Udep pih lam luka


Inilah kisah tentang tanah yang indah
termasyhur di penjuru dunia
tempat lahir para pahalwan utama
yang gigih mengusir penjajah

Namun tiba masanya tanah indah
dicabik senjata saudara sendiri
darah pun tumpah meresap
jiwa merana pergi

Hari berlalu waktu berganti
baru saja sejenak ingin tersenyum
gelombang laut menghapus segala
tak ada yang tersisa hanya kenangan

: Sekujur hidupku luka

Demikian kalimat pembuka Drama Tragedi Sembilan Babak berjudul Tanah Perempuan yang disajikan seorang penulis yang sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusasteraan di tanah air, Helvy Tiana Rosa. Dari sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Banda Aceh, kisah ini bermula.

Kalimat demi kalimat mengalir penuh makna menceritakan kisah kehidupan seorang Safiah Cut Keumala, seorang istri, ibu dan guru sejarah berusia 35 tahun. Mala, seorang wanita Aceh yang turut merasakan masa-masa konflik di Aceh berkecamuk. Belum purna kesedihan akibat kehilangan orang-orang terkasih dalam konflik tersebut, musibah gempa bumi daTsunami pada hari Minggu, 26 Desember 2004 datang memporak-porandakan negerinya. Mala kini tinggal sebatang kara.

Dalam kesedihan dan kepayahan akibat sakit dan letih setelah digulung ombak tsunami, Mala terdampar di darat. Di tengah puluhan mayat yang bergelimpangan dan sejumlah besar relawan yang datang memberikan bantuan. Dalam pada itu, dua orang relawan dari Jakarta menemukan Mala yang masih mengisyaratkan nafas, lalu berusaha menyadarkannya.

"Ayo, minum, Bu!" pinta seorang relawan.

"Kalau tidak mau minum ya makan juga boleh," pinta relawan lainnya sambil menyodorkan biskuit.

Mala bergeming.

Tidak. Tolonglah. Lon keneuk mate mantong. Saya ingin mati! Ingin mati! Tidak ada yang bisa menghalangi saya untuk mati karena semua anggota keluarga saya telah mati. Bahkan tanah saya sudah mati. Jadi tolong pergi. Ayo kalian pergi.

* * *

Mala, seorang istri, ibu dan guru sejarah berusia 35 tahun. Ia tinggal di pinggiran kota Banda Acehbersama dengan kedua orang tuanya, Abu dan Mak, juga suaminya Majid dan anaknya, Agam. Majid, suami Mala sehari-hari berprofesi sebagai guru Matematika. Oh iya, adik Mala, Imran juga tinggal bersama dengan mereka. Imran adalah seorang pemuda pengangguran berusia sekitar 20 tahun.

Hari-hari di masa konflik dilalui dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Mulanya Ma'e, abang Mala hilang tanpa meninggalkan jejak. Menyusul Abu, sang ayah, dipanggil ke haribaan Allah Swt setelah beberapa bunyi tembakan. Selang beberapa lama, di suatu malam dua orang oknum polisi datang menangkap Majid suaminya dengan tuduhaterlibat sebagai kaki tangan pemberontak.

Masa konflik membawa Aceh dalam kegelapan. Sebentar-sebentar kabar adanya warga yang ditemukan tewas atau hilang karena diculik. Belum lagi sekolah-sekolah yang dibakar oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Kepiluan kian mendalam bagi Mala dan warga Aceh pada masa itu.

* * *

Imran tidak menemukan pilihan lain selain merantau ke Penang mengikuti jejak mereka yang telah lebih dulu meninggalkan Aceh. Baginya, hanya dengan ikut mengungsi maka ia dapat merajut harapan kembali bagi kehidupannya. Sementara Mak yang sudah tua dan sakit-sakitan pun melepaskannya dengan do'a. Kini Mala tinggal bersama Mak dan anaknya Agam yang sebentar-sebentar menanyakan keberadaan Majid, ayahnya.

Di tengah kepiluan itulah tiba-tiba hadir sebuah bencana maha dahsyat yang barangkali belum pernah terekam dalam sejarah. Gempa bumi berkekuatan 9,1 SR mengguncang daerah Aceh dan sekitarnya. Lima belas menit kemudian gulungan tsunami berkecepatan setara pesawat terbang sampai ke daratan Pantai Barat Aceh dan menyapu apa saja di hadapannya.

Hari itu, 26 Desember 2004, semua larut dalam zikirRatusan ribu jiwa tewas dan ratusan ribu lainnya hilang serta tak terhitung pula kerugian yang diperoleh. Bahkabelasanegara lain yang turut terkena dampak dari musibah tersebut. Sungguh hanya kepunyaan Allah sajalah segala apa yang ada di langit dan di bumi. 

* * *

Dalam kepayahannya, Mala tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Antara sadar dan tidak, di hadapannya kini berdiri seorang pahlawan Aceh dari abad ke-16, Laksamana Malahayati. Mala yang seorang guru sejarah dengan fasihnya dapat mengurai sejarah perjuangan wanita pejuang yang masyhur tersebut. Tidak hanya laksamana atau panglima perang, Laksamana Malahayati juga merupakan seorang diplomat dan perunding yang ulung dan tegas dalam berdiplomasi menjunjung harga diri Aceh.

Laksamana Malahayati tercenung menyaksikan bagaimana dhasyatnya tsunami memporak-porandakanegeri yang dicintainya. Namun ia tetap berupaya menguatkan hati sambil memberi semangat kepada Mala. "Hentikan tangisan kami dengan kebangkitan kalian. Bangkitlah dengan luka dan cinta. Dengan luka, anakku. Dengan cinta. Dengan takwamu."

Kemudian hadir pula dalam balutan duka tersebut, Sultanah Sri Ratu Safiatuddin. Ia sekan tak percaya negeri kecintaannya Aceh dilanda musibah besar yang memporak-porandakan hampir seluruh negeri. Menyisakan kepiluan bagi sesiapa yang menyaksikannya. Ia berpesan kepada Mala, "Kamu harus membangun kembali kejayaan generasimu dengan cara menguasai, memimpin dirimu sendiri!"

Pocut Meurah Intan, Cut Meutia dan Pocut Baren berturut-turut hadir untuk memberikan kepada Mala sepucuk semangat. "Safiah Cut Keumala! Kita datang dari Allah, hidup untuk Allah, kembali pada Allah. Sebut namamu: Safiah Cut Keumala!" pinta Cut Meutia menyalakan semangat hati Mala.

"Penderitaanmu bukanlah ketika kamu kehilangan keluarga atau bagian tubuhmu. Hakikat penderitaan bukanlah ketika kamu terkena bencana. Tapi penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kamu kehilangan kepercayaan dirimu dan harapan. Ketika Allah tak ada dalam tujuan hidupmu," Pocut Baren meneguhkan.

Tak lama kemudian Cut Nyak Dhien hadir di antara mereka dan memberi semangat kepada Mala agar tidak larut dalam keterpurukan dan segera bahu membahu bersama warga Aceh lainnya untuk bangkit kembali membangunegeri yang baru saja hancur luluh dihantam tsunami"Musuhmu sekarang bukanlah Belanda, anakku, tapi diri dan ketidakberdayaanmu. Bangkitlah!" 

Mala pun kemudian terlibat dalam berbagai kegiatasosial untuk menumbuhkan kembali semangat warga Aceh, meski ia sendiri harus kehilangan ibundanya yang jasadnya ditemukan tidak lama setelah ia sadar, serta Agam anak semata wayangnya yang masih belum diketemukan jejaknya.

* * *

Hampir setahun kemudian, tepatnya bulaSeptember 2005, orang-orang sibuk berlalu lalang mencari kabar berita tentang perjanjian Helsinski yang menandai perdamaian di Aceh.Sebagian orang mendukung, sebagian masih pesimis, namun semua berharap akan masa depan Aceh yang lebih baik.

Di antara keramaian itulah tiba-tiba muncul seorang wanita menghampiri Mala. Ternyata ia adalah Surayya, yang lama tidak diketahui rimbanya setelah bergabung dengan barisan tentara wanita Inong Balee. Ia bermaksud memastikan kabar tentang perjanjian damai tersebut. Mala pun mengajak Surayya untuk bersama-sama membangun kembali Aceh agar kembali bangkit menatap masa depan yang gemilang.

Surayya ikut bersama Mala untuk memberi semangat kepada anak-anak di pengungsian. Tiba-tiba dari kerumunan anak-anak itu, muncullah seorang anak yang menghampiri Mala. Ia berdiri mematung, memandangi Mala, Surayya dan keramaian anak-anak tersebut.

"Mak, apakah ini Mak?"

"Agam anak Mak sayang. Bagaimana mungkin ... ? Mak kira kamu sudah tiada. Agam anak Mak sayang."

Kemudian dalam suasana penuh haru itu, anak-anak membentuk lingkaran dan bernyanyi ...

Kamoe ureueng Aceh, aneuk pejuang nyang malem
Hantom talo bak kaphe meunan cit ngon bala
bah peudeh kamoe teurimong, teutap teuga
sebab Allah ngon kamoe
Beudoh hai Aceh kamoe sigoe treuk!
Aceh lon sayang!

Kami orang Aceh, generasi pejuang yang saleh
tak pernah menyerah pada penjajah atau musibah
walau banyak lara kami tetap tegar
sebab Allah bersama kami
Bangkitkan Aceh kami sekali lagi!
Acehku sayang.

* * *

Saya baru menemukan buku ini di sebuah toko buku beberapa waktu silam. Saya juga tidak menduga bahwa buku ini adalah sebuah naskah drama yang ternyata telah pernah dipentaskan beberapa tahun silam di Banda Aceh bekerjasama dengan teman-teman FLP Aceh yang ketika itu menjadi event organiser-nya.

Bagi saya, membaca Tanah Perempuan karya Helvy Tiana Rosa merupakan sebuah motivasi yang dapat melecut semangat khususnya bagi warga Aceh dalam membangun kembali negeri tercinta iniSemoga dengan berbagi tentang buku ini dapat menjadi penyemangat kita seperti sebuah kata mutiara yang saya kutip dari buku ini bahwa hidup adalah sejauh mana kita menebar harapan dan do'a (halaman 26).

Perjuangan Mala, sosok seorang perempuan tegar yang digambarkan dengan begitu utuh dalam drama ini merupakan gambaran dari ketangguhan wanita Aceh yang telah diwariskan secara turun temurun oleh para wanita pejuang AcehKisah drama ini mengirimkan pesan dan harapan semoga nilai-nilai ketangguhan dan kesabaran tersebut dapat diteladani kembali dewasa ini. Terutama bagi masyarakat Aceh dalam bahu memabahu membangun kembali negerinya yang telah lama terpuruk dilanda konflik dan musibah tsunami.


Judul: Tanah Perempuan, Drama Tragedi Sembilan Babak
Penulis: Helvy Tiana Rosa
Penerbit: Lapena, Banda Aceh
Tebal: 124 halaman

Banda Aceh, 23 Juni 2014