Sabtu, 01 Februari 2014

Tidak Ada yang Tidak Bisa

Ini adalah sebuah judul buku tulisan Dahlan Iskan tentang kisah hidup seorang Karmaka Surjaudaja. Dahlan tergerak menuliskan biografinya karena memiliki sejarah yang sama: sama-sama pernah menjalani operasi cangkok hati. Awal mula kisahnya adalah ketika Dahlan baru tiga bulan selesai menjalani operasi transplantasi hati, atau setengah bulan setelah bukunya Ganti Hati beredar di pasaran. Karmaka pada akhir November 2007 itu terbang ke Surabaya untuk menemui Dahlan untuk saling bertukar pikiran mengenai kasus transplantasi hati Dahlan itu.

Meskipun Karmaka menuturkan maksud kedatangannya adalah bertukar pikiran -- setelah ia membaca kisah Dahlan -- namun Dahlan dapat menangkap maksud di balik diskusi mereka pada hari itu. Karmaka sebenarnya hendak mengingatkan Dahlan agar ia tidak melarutkan diri dalam pekerjaan berat lagi. Karmaka, menurut penuturan Dahlan, tampaknya bahkan lebih berkepentingan agar Dahlan berumur panjang dibanding bagi Dahlan sendiri. Dalam pengamatan Dahlan, Karmaka benar-benar seorang yang penuh semangat, enerjik dan sangat peduli serta tulus. Berkat sifat-sifat itulah kisah Karmaka dan perjuangannya berhasil menahkodai bank NISP selama puluhan tahun hingga menjadi sebuah bank ternama nasional seperti saat ini.

Maka singkat cerita Dahlan merasa bersalah. Rasa bersalah yang muncul lantaran baginya kisah transplantasi yang dialaminya bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan kisah hidup Karmaka yang bukan hanya tranplantasi liver, bahkan transplantasi ginjal kali pertama dan kali kedua telah ia jalani. Dahlan merasa bersalah lantaran buku yang ditulisnya telah dicetak berulang kali sementara bagi dirinya kisah Karmaka sangat layak untuk diketahui dan menjadi pelajaran bagi orang banyak.

Meskipun -- seperti dijelaskan juga dalam pengantar buku ini -- Dahlan Iskan telah lama akrab dengan beberapa manajer Bank NISP terutama yang dulunya berasal dari Bank Bali, namun Dahlan tetap berusaha memberikan pandangan dari kacamata yang obyektif. Harian Jawa Pos yang dipimpinnya memang merupakan nasabah dari Bank Bali. Anak-anak Karmaka, Pramukti dan Parwati yang menjadi Presiden Direktur dan Wakil Direktur Bank NISP juga telah lama dikenal oleh Dahlan oleh sebab banyaknya manajer NISP yang dahulunya bekerja di Bank Bali. Hal ini mempermudah Dahlan dalam menilai adanya kesamaan budaya perusahaan antara kedua bank tersebut, yaitu kekeluargaan yang sangat kental dengan tetap mempertahankan profesionalisme. Janji itu pula yang disampaikan Dahlan terhadap paparannya terhadap buku biografi Karmaka ini.

Buku setebal 264 halaman ini terbagi ke dalam 39 bagian. Bab pertama akan mengantarkan kita pada sebuah pengantar dari Karmaka sendiri mengenai bank yang dinahkodainya yang lahir pada 4 April 1941 ini. Kini setelah hampir tujuh puluh tahun NISP dapat masuk ke dalam 10 besar bank swasta nasional, dengan lebih dari 360 cabang, lebih dari 500 ATM milik sendiri, karyawan 6.500 orang, aset sekitar Rp 30 Triliun dengan status bank publik yang memiliki 1.000.000 nasabah. Namun semua itu tidak diperolehnya dengan tanpa hambatan. Berulang kali Karmaka jatuh bangun dalam memperjuangkan Bank yang semula merupakan amanah dari sang mertua untuk menyelamatkan Bank tersebut dari kehancuran.

* * * * *  

Dari sebuah bus Damri yang sedang menunggui penumpangnya di kawasan terminal angkutan umum di Banda Aceh, saya melanjutkan untuk membaca buku setebal 264 halaman tersebut. Bait demi bait yang dituliskan Dahlan serasa membawa saya kembali ke masa itu, masa ketika kisah ini  berlangsung. Karmaka menceritakan semua kisah ini pada Dahlan, dengan harapan dapat kita ambil hikmahnya selaku generasi muda penerus harapan bangsa.

Kisah ini bermula pada tahun 1935 ketika ibunda Karmaka hendak menyusul suaminya ke kota Bandung, meninggalkan kampung halamannya Hokja, Provinsi Fujian, Tiongkok. Suaminya Kwee Tjie Kui telah dua tahun lebih dulu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan. Sempat ditolak turun ke kapal lantaran terserang diare dan khawatir menjadi wabah penyakit, Kwee Tjie Hoei yang masih berusia 10 bulan akhirnya mendapat jaminan sebesar 500 gulden dari seorang pengusaha sukses asal Hokja yang telah lama menetap di Bandung, The Tjie Toen. Kelak, di usia 32 tahun bayi mungil itu memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan mengganti namanya menjadi Karmaka Surjaudaja.

Perjalanan Karmaka kecil dilalui dengan berbagai ujian dan rintangan. Saat sang ayah mengalami musibah patah tulang dan Karmaka yang masih duduk di kelas 2 SMP memutuskan berhenti sekolah untuk menggantikan ayahnya bekerja selama setahun. Saat lulus SMA yang bersamaan dengan kelulusan adiknya Kwee Tjie Ong, Karmaka memutuskan mengalah agar adiknya dapat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ini dilakukannya meskipun ia sendiri sangat gandrung untuk masuk Institut Teknologi Bandung pada jurusan favoritnya: elektro.

Berbagai pekerjaan pun dilakoninya siang dan malam untuk membiayai kuliah adiknya mulai dari menjadi guru olahraga, memberi kursus privat bagi anak-anak orang berada dan bekerja di pabrik tekstil. Di saat sang adik menunggu wisuda sebagai dokter spesialis penyakit dalam, Karmaka harus kehilangan sang adik dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Kisah ini terus berlanjut ketika kepintaran, kejujuran dan sikap kerja keras Karmaka mulai dikenal luas. Hal tersebut ditunjukkannya saat dalam waktu singkat berhasil menemukan kebocoran di pabrik tekstil tempat ia bekerja dan meningkatkan keuntungan perusahaan tersebut. Sang pemilik bermurah hati menawarkan berbagai fasilitas termasuk pendidikan ke Jepang yang diidamkannya selama ini dan juga perjodohan dengan gadis anak familinya. Namun kesetiaannya pada Kwei Ing, putri seorang pemilik bank ternama yang pernah menjadi murid les privatnya, membuatnya menolak semua tawaran tersebut.

Kwei Ing, seorang yang berhati mulia bersedia menikah dengan Karmaka dan hidup sederhana bersamanya dan sembilan orang adiknya. Lantaran belum lagi memperoleh pekerjaan setelah berhenti dari perusahaan lamanya, sang mertua meminta bantuan Tan Lin Tjik, rekannya sesama pejuang kemerdekaan yang juga memiliki pabrik tekstil NV Padasuka Majalaya untuk mempekerjakan Karmaka. Dianggap sukses, Karmaka diminta sang mertua mengelola Bank NISP sementara sang mertua hendak pulang ke Tiongkok untuk menziarahi makam orang tuanya.

Karmaka pada mulanya tidak menyangka bahwa permasalahan yang dialami oleh Bank NISP sudah begitu kronis. Usut punya usut, ternyata krisis yang terjadi di tubuh Bank NISP merupakan hasil dari ulah orang-orang kepercayaan Lim Khe Tjie, sang mertua. Meskipun telah beroleh saham perusahaan sebesar 41 persen, kepercayaan Lim Khe Tjie telah disalahgunakan dengan berbagai praktik menyimpang, antara lain memberi kredit tanpa agunan kepada perusahaan sendiri dan penawaran investasi bodong impor mobil.

Berbekal dukungan penuh para karyawan, Karmaka berhasil meyakinkan pengadilan untuk membatalkan penyitaan aset dan menjadikan dirinya selaku menantu Lim Khe Tjie sang pemilik saham mayoritas untuk menyelesaikan semua masalah dengan nasabah. Bahkan Jaksa Agung turun tangan untuk memeriksa proyek-proyek bernuansa fiktif dan ilegal yang terlanjur dijalankan oleh manajemen lama. Semua saham pihak manajemen lama yang cukup besar yaitu 43 persen--diperoleh dari berbagai upaya penyelewengan--disita dan pimpinan yang menyeleweng dijebloskan ke dalam tahanan.

Tindakan Karmaka tentu saja menimbulkan reaksi dari mereka yang terbukti menyeleweng. Berbagai upaya dan ancaman dilakukan untuk membuat Karmaka mundur dalam upayanya menyelamatkan bank milik sang mertua, Lim Khe Tjie. Beberapa kali Karmaka mendapat ancaman bahkan mengalami percobaan pembunuhan. Namun tidak seinci pun Karmaka surut. Malahan Karmaka terus bekerja keras lantaran Bank Indonesia hanya memberinya waktu tiga tahun untuk menyelesaikan segala permasalahan di tubuh Bank NISP.

Lantaran tidak bisa memenuhi permintaan dari seorang Bos Besar yang ingin menguasai seluruh saham Bank NISP--sang Bos Besar sebelumnya telah menjadi pemenang pada lelang 43 persen saham Bank NISP yang dulu dirampas oleh pihak manajemen lama yang menyeleweng, Karmaka mencari bantuan pada rekannya di Persatuan Bank Swasta Nasional (Perbanas). Mitra barunya kemudian membeli 43 persen saham tersebut dari Bos Besar tersebut. Namun ternyata mitra baru ini tidak bisa diharap, malah merepotkan. Akibat sering kalah kliring, tidak sedikit modal Bank NISP yang digunakan olehnya untuk menutupi kalah kliring tersebut.

Karmaka kemudian meminjam uang Rp 6 Miliar (uang pada saat itu tahun 1966) dengan bunga 15% sebulan atau hampir 200% setahun dan mem-PHK 3.000-an karyawannya yang kemudian menuntut 10 kali pesangon. Hal tersebut terpaksa dilakukannya untuk menghindari ancaman pailit dari Bank Indonesia, di mana dari tiga tahun waktu yang diberikan hanya tersisa satu tahun lagi. Karmaka sendiri tidak tahu harus menutup utang dan membayar pesangon karyawannya dari mana. Di tengah kekalutan yang amat sangat tersebut, Karmaka memilih untuk meminum racun setelah menulis beberapa surat wasiat yang tersimpan dalam sebuah amplop. Ternyata Tuhan berkehendak lain dan upaya Karmaka pun mengalami kegagalan.

Karmaka ditemukan dalam keadaan pingsan oleh istrinya, dan ketika sadar ia sudah berada di rumah sakit Boromeus, Bandung. Sang dokter menegur Karmaka atas kejadian itu. Karmaka meminta maaf kepada dokter dan menceritakan hal ihwal yang menimpanya. Ia pun masih sempat memusnahkan semua surat wasiat yang sempat ditulisnya.

Meskipun sedang dalam kondisi sakit namun tuntutan dari para karyawan terhadap 10 kali pesangon tidak mengendur. Di tengah permasalahan yang menimpanya, Karmaka mendapat kabar gembira mengenai status kewarganegaraannya. Karmaka akhirnya beroleh status kewarganegaraan Indonesia yang ditandatangani oleh Bung Karno. Karmaka adalah orang terakhir yang diberikan kewarganegaraan melalui tanda tangan Bung Karno.

Pengorbanan sang istri juga menjadikan Karmaka mampu melewati masalah demi masalah yang dihadapinya. Sang istri bahkan rela menggadaikan rumah orang tuanya untuk mengambil pinjaman, meskipun itu merupakan sebuah keputusan yang teramat sulit lantaran merupakan warisan ayahnya. Titik balik dari krisis yang menerpa Bank NISP adalah ketika pemilik bank yang dulu bersedia membeli 43 persen saham Bank NISP bersedia melepas sahamnya kepada Karmaka, sehingga Karmaka dan keluarganya telah memegang 95 persen saham yang berarti adalah pemilik tunggal perusahaan meskipun sang pemilik lama saham tersebut juga mewariskan sejumlah masalah utang.

* * * * *

Setelah menguasai 95 persen saham Bank NISP, perlahan namun pasti masyarakat mulai melihat NISP sebagai bank yang sangat menjaga kepercayaan nasabah. Berbekal vespa, Karmaka bergerilya mencari nasabah baru. Puncaknya adalah pada masa krisis moneter tahun 1968 di mana terjadi devaluasi pertama pada masa Orde Baru. Banyak bank yang kolaps, namun sebaliknya bagi Bank NISP justru menjadi tempat masyarakat mengalihkan dana mereka. Suasana kondusif tersebut ditambah lagi dengan suntikan dana dari mitra baru mereka Daiwa Bank asal Jepang. Meski belum termasuk dalam jajaran bank yang terbesar, Bank NISP termasuk dalam kategori bank yang terkenal akan kehati-hatian, reputasi baik dan memiliki nasabah-nasabah yang sangat setia.

Di saat-saat Bank NISP memasuki era jayanya, musibah pun berdatangan. Musibah pertama adalah meninggalnya sang mertua, Lim Khe Tjie. Musibah kedua adalah Karmaka divonis menderita sirosis hati atau pengerasan hati dan tidak akan hidup lebih lama dari lima tahun.

Kisah ini kemudian berlanjut ketika putra-putrinya distudikan setinggi-tingginya untuk dipersiapkan sebagai kader penerus Karmaka dalam memimpin Bank NISP. Ternyata Karmaka sanggup bertahan dan berjuang hingga 18 tahun kemudian setelah vonis mati pada tahun 1978 tersebut dinyatakan oleh dokter. Barangkali hal itu tidak luput dari kedisiplinannya dalam menjaga fisik saat menjadi guru olahraga di masa mudanya.

Pada tahun 1996, dalam sebuah rapat Karmaka tiba-tiba muntah darah. Dari hasil pemeriksaan di RS Boromeus, Bandung diketahui saluran pencernaan Karmaka pecah di tujuh titik, yang diakibatkan terhambatnya aliran darah yang hendak masuk ke liver karena sudah terlanjur mengeras. Setelah berulangkali transfusi darah, Karmaka diputuskan untuk melakukan transplantasi hati dan diterbangkan ke New York melalui Singapore meski dalam keadaan tidak sadarkan diri. Namun di sana ternyata Karmaka diminta menunggu lantaran panjangnya antrean pasien, bahkan bisa saja penantian tersebut mencapai lebih dari satu tahun.

Sementara dari Indonesia kondisi krisis moneter kembali menerpa dan menyebabkan banyak bank yang kolaps. Karmaka meski terbaring lemah di ICU namun pikirannya tidak dapat lepas dari bank yang dipimpinnya. Karmaka memutuskan agar seluruh anaknya tidak perlu menungguinya lagi dan segera kembali ke Indonesia untuk memimpin Bank NISP secara langsung. Tanpa sepengetahuan Karmaka, salah satu putrinya, Sanitri Surjaudaja tetap tinggal di New York melaporkan kondisi ayah mereka dari waktu ke waktu sampai waktu transplan tiba.

Hari yang ditunggu pun tiba, Karmaka memperoleh donor liver dari seorang korban kecelakaan yang tewas dan masih berusia 31 tahun dengan kondisi liver yang masih sangat baik. Sanitri segera mengabari keluarganya dan pada Desember 1997 Karmaka yang kondisinya sudah semakin membaik pulang ke Indonesia.

Kondisi krisis moneter tak disangka membuat banyak nasabah yang mengantre untuk menyimpan uang mereka di Bank NISP . Saat kerusuhan pada Mei 1998, karyawannya dengan gigih berjuang menjaga agar Bank NISP tidak ikut menjadi korban penjarahan dan amuk massa. Keberhasilan Bank NISP melewati masa krisis tidak lepas dari baiknya Bank NISP dalam menjaga hubungan dengan masyarakat di sekitar Bank sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Di samping itu, Bank NISP tidak terjebak untuk ikut-ikutan mengenakan bunga gila-gilaan seperti langkah yang diambil bank lainnya ketika indikator instrumen Bank Indonesia mencapai angka 70 persen. NISP tetap mengenakan bunga pinjaman yang lebih rendah dari pasar bahkan di bawah bunga deposito. NISP tetap menjaga komitmennya untuk menjaga kepercayaan nasabahnya sepanjang masa.

Pada tahun 2008, NISP memasuki era baru dengan melakukan strategic partner di mana sebanyak 70 persen sahamnya dilepas kepada OCBC. Kemitraan ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas bank tersebut di masa mendatang. Atas jasa-jasanya yang sangat besar, Bank OCBC memberikan gelar seumur hidup Chairman Emeritus kepada Karmaka.

Seiring usia dan berbagai pengobatan yang dijalaninya, Karmaka harus melakukan transplantasi ginjal sebanyak dua kali. Atas saran putranya, Pramukti, Karmaka rajin berolahraga pernafasan Tai Chi Quen sehingga fisik dan kekebalan tubuhnya sangat kuat. Ini juga sangat mendukung Karmaka, sehingga fisiknya dapat bertahan hingga kini!

Sebagaimana dituturkan Dahlan Iskan sang penulis buku ini, kisah hidup Karmaka merupakan sebuah pelajaran mengenai semangat kerja keras remaja yang tak kenal putus asa. Juga contoh pelaksana amanah: amanah orang tua sebagai anak sulung dan amanah mertua menyelamatkan Bank NISP secara mati-matian. Karmaka juga contoh semangat berkorban untuk keluarganya, adik-adiknya, karyawannya, dan perusahaannya. Ia tidak kenal menyerah dalam mengatasi segala kesulitan, baik sebagai buruh, saat jadi pimpinan maupun saat sakit parah. Karmaka juga cermin kepemimpinan yang kuat, mampu menghadapi krisis, dan kepemimpinan yang mempunyai visi ke depan. Yang tidak kalah penting, Karmaka berhasil dalam upaya regenerasi kepemimpinan yang sukses. Karmaka benar-benar seorang contoh yang jarang ada.

Buku Tidak Ada Yang Tidak Bisa merupakan sebuah buku referensi mengenai perjalanan Bank NISP di bawah kepemimpinan Karmaka Surjaudaya. Sikap jujur, menjaga nama baik, bekerja keras dan berani memperjuangkan yang baik adalah sikap yang telah sama kita ketahui, namun tidak semua orang mampu dan mau melakukannya. Kisah Karmaka menjadi pelajaran untuk tetap hidup sehat dan berakhlak mulia.


Sumber gambar bisa dilihat di sini


Banda Aceh, 30 Oktober s.d. 02 November 2013
Pukul 20:13

Hari ini, empat belas bulan sudah sejak Bapak Dahlan Iskan menuliskan ucapan dan menandatangani buku yang saya beli suatu hari di bulan April 2012. 

Terima kasih, ya Pak.

2 komentar: