Jumat, 12 Juni 2015

Hanya 2 Menit

Melihat buku ini disajikan di rak depan sebuah toko buku, saya kembali teringat saat mengikuti seminar Ippho Santosa pada 17 Oktober 2010 silam. Hari yang sama ketika saya dibelikan sebuah sepeda oleh orang tua saya. Sungguh, di usia seperti saat itu yang baru saja diwisuda di sebuah universitas, masih bergantung kepada pemberian orang tua bukanlah harapan saya. Pelatihan itu bertema 7 Keajaiban Rezeki memotivasi saya untuk terus mengembangkan diri, sehingga tidak butuh waktu lama untuk mengambil keputusan menjadikannya koleksi perpustakaan pribadi saya.

Kebahagiaan sejatinya hanya memerlukan sebuah hati yang jernih yang dapat diisi oleh kebahagiaan itu sendiri. Seorang filosof Leo Tolstoy menyebutkan bahwa kita sejatinya adalah makhluk spiritual yang harus beradaptasi dengan hal-hal keduniawian. Kebutuhan-kebutuhan kita akan pemenuhan aspek duniawi seperti kecukupan materi, kesehatan fisik dan kemudahan mobilitas adalah contoh nyata yang membuktikan hal tersebut. Namun seringkali pola pikir yang keliru menghalangi kita untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Saya ingat salah satu pesan seorang motivator ulung Tung Desem Waringin yang menyebutkan salah satu langkah awal dan penting dalam belajar adalah bagaimana memperbaiki pola pikir yang salah. Dalam buku ini, seperti halnya status-statusnya di media sosial Facebook dan Twitter, Ippho senantiasa melabrak pola pikir yang selama ini kaku yang sebenarnya tidak pernah dipergunakan oleh sosok-sosok teladan umat Islam. Pola pikir yang cenderung mengekang umat untuk terus terpuruk dalam ketidakberdayaan alih-alih bangkit meraih masa depan yang gemilang.